Home » » [cfbe] LEMBAGA PENDIDIKAN : Berjibaku Mengejar Ijazah Keguruan

[cfbe] LEMBAGA PENDIDIKAN : Berjibaku Mengejar Ijazah Keguruan

Written By Celoteh Remaja on Rabu, 23 November 2016 | 10.07

 

LEMBAGA PENDIDIKAN
Berjibaku Mengejar Ijazah Keguruan
Kompas Cetak, 23 November 2016
Wajah Regi Susantri Surbakti (23) bermandi peluh ketika tiba di kampus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Riama Medan, Sumatera Utara, Kamis (17/11). Sore itu, ia baru selesai mengajar di sebuah sekolah dasar. Mengajar sambil kuliah menjadi kesehariannya.

Praktis ia harus menyiasati waktu mengajar dan jadwal perkuliahan. Begitulah potret keseharian sebagian mahasiswa di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Riama. Mereka adalah calon guru yang berjibaku belajar teori kependidikan di kampus sembari praktik mengajar. Pagi sampai siang hari, mereka mengajar di sekolah. Sore hari, mereka belajar di kampus. "Selain bisa praktik, sekalian mendapat penghasilan. Lumayan buat meringankan biaya kuliah," ujarnya.

Regi sejak masa kecil bercita- cita menjadi guru. Apalagi, ia tertarik mengikuti jejak sejumlah kerabat yang cukup sejahtera dengan gaji dan tunjangan sertifikasi. Setamat SMA, ia ikut seleksi masuk beberapa perguruan tinggi negeri program studi keguruan. Sayang, takdir belum mengantar dirinya kuliah di kampus negeri. Ia akhirnya mendaftar ke perguruan tinggi swasta, yakni STKIP Riama.

Regi mengambil program studi Bahasa Inggris. Namun, ia tidak sepenuhnya mendapatkan apa yang ia bayangkan sebelumnya. Fasilitas praktik di kampus kurang lengkap. Saat awal masuk kuliah, dosen masih sedikit dan sebagian besar pengajar itu berstatus tidak tetap.

Kampus STKIP Riama Medan berdiri sejak tahun 1976 di atas lahan berukuran 150 meter x 40 meter. Ruang kuliah tersebar di gedung empat lantai.

Saat Kompas berkunjung ke kampus itu, sebagian besar ruangan kosong. Belasan mahasiswa duduk sambil mengobrol di teras. Hanya tiga ruangan yang diwarnai aktivitas perkuliahan. Di ruangan-ruangan itu tampak hanya ada seorang mahasiswa dan seorang dosen.

Fitri, kawan Regi, bercerita, pendidikan keguruan di kampus sesungguhnya tidak cukup membekalinya mengajar di sekolah. Jumlah dosen pengajar di kampusnya sangat minim. Peralatan laboratorium di kampus untuk listening (mendengar), misalnya, tidak memadai.

Di kampus, Fitri berharap bisa belajar pendidikan dasar keguruan, seperti belajar menggunakan silabus, menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran, berlatih pengajaran mikro (microteaching), dan praktik pengalaman lapangan. Namun, pendidikan di kampus tak sepenuhnya bisa mengajarkan itu kepada mahasiswa. "Sebelum kami belajar ilmu dasar keguruan, kami sudah mengajar di sekolah-sekolah. Kami lebih banyak belajar otodidak di sekolah tempat kami bekerja," katanya.

Dilematis

Ketua STKIP Riama Binner Sihaloho mengatakan, dalam menyajikan pendidikan keguruan yang berkualitas bagi calon guru, kampus keguruan swasta biasanya terkendala pembiayaan. Hampir semua biaya operasional kampus berasal dari uang kuliah mahasiswa. Ini membuat mutu penyelenggaraan menurun drastis ketika jumlah mahasiswa menyusut.

Binner mengatakan, biaya terbesar dalam menyelenggarakan pendidikan keguruan berasal dari gaji dosen, biaya laboratorium, dan gedung perkuliahan. Dalam satu program studi, misalnya, pemerintah mengharuskan minimal ada enam dosen tetap. "Di STKIP Riama ada 10 program studi. Kami harus punya minimal 60 dosen tetap," katanya.

Binner mengatakan, beberapa program studi di STKIP Riama jumlah mahasiswanya tak mencapai 10 orang. "Kami bisa menutupi biaya operasionalnya dengan subsidi silang dari program studi yang lain," ujarnya.

Pengelola kampus itu kerap dilematis, antara menaikkan uang kuliah dan tidak. Di satu sisi, mereka kekurangan biaya operasional, tetapi di sisi lain sebagian besar mahasiswa berasal dari keluarga menengah ke bawah. Biaya kuliah di STKIP Riama Rp 5 juta per tahun.

Binner menuturkan, pada Oktober 2015, STKIP Riama Medan pernah dinonaktifkan oleh Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi karena tak memenuhi beberapa syarat, salah satunya jumlah dosen tetap yang tidak mencukupi. Sejak pengumuman nonaktif itu, jumlah mahasiswa menurun. Sebelumnya, jumlah mahasiswa sempat mencapai 5.000 orang, tetapi kini tinggal 1.000 orang.

Binner mengatakan, saat ini kampus mereka telah memenuhi syarat menjadi perguruan tinggi. Kementerian Ristek dan Dikti pun telah mengaktifkan kembali kampus itu. "Kami sedang berjibaku membangun kembali citra kampus ini. Kami percaya syarat yang dibuat pemerintah adalah upaya untuk meningkatkan mutu pengajaran," katanya.

Perpustakaan minim

Berjibaku mengejar ijazah keguruan juga dialami Yuliana (25). Perkuliahan di STKIP Bandar Lampung ia lakoni siang sampai sore hari. Maklum, sebagian besar dosen juga mengajar di kampus lain.

Untuk latihan mengajar, mahasiswa memanfaatkan salah satu ruangan di rumah yang disewa sebagai kampus. Tak banyak fasilitas untuk praktik yang dimiliki kampus. Mahasiswa lebih banyak menyiapkan perlengkapan praktikum dari rumah masing-masing.

Dia pun harus pergi ke perpustakaan daerah atau kampus lain untuk mencari referensi bacaan. Sebab, di kampusnya, tak banyak buku yang tersedia.

Langkah progresif tampaknya ditempuh IKIP Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Semarang, Jawa Tengah. Lembaga ini mengubah diri menjadi Universitas PGRI Semarang (UPGRIS). Meski demikian, infrastruktur penunjang perkuliahan juga belum ideal. Contohnya, komputer dengan internet gratis di lingkungan kampus justru rusak. Jaringan internet nirkabel juga ngadat.

"Kalau mau bikin tugas, bingung cari jaringan internet," ujar Nuri Shofiah (19), mahasiswa jurusan kependidikan bimbingan konseling asal Purwodadi.

Rektor UPGRIS Muhdi mengatakan, sejak berubah jadi universitas, peminat di lembaga pendidikan itu semakin banyak. Menyiasati persaingan dengan ratusan ribu calon guru dari perguruan tinggi lain, kepada mahasiswa UPGRIS, pihak kampus menekankan dunia pekerjaan lebih luas selain jadi guru.

"Banyak lulusan kami menjadi pegawai bank, tenaga pemasaran perusahaan, dan pekerja media massa. Kami tanamkan karakter dan modal dasar. Mereka pun bisa berkarier di bidang lain," katanya.

(NSA/VIO/GRE/ZAK)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 November 2016, di halaman 1 dengan judul "Berjibaku Mengejar Ijazah Keguruan".

__._,_.___

Posted by: Dhitta Puti Sarasvati <dputi131@gmail.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (1)

Have you tried the highest rated email app?
With 4.5 stars in iTunes, the Yahoo Mail app is the highest rated email app on the market. What are you waiting for? Now you can access all your inboxes (Gmail, Outlook, AOL and more) in one place. Never delete an email again with 1000GB of free cloud storage.

---------- http://groups.yahoo.com/group/cfbe ----------
Arsip Milis: http://groups.yahoo.com/group/cfbe/messages
Website: http://www.cbe.or.id

Hanya menerima daily digest: cfbe-digest@yahoogroups.com
Tidak menerima email: cfbe-nomail@yahoogroups.com
Kembali ke normal: cfbe-normal@yahoogroups.com
Berhenti berlangganan: cfbe-unsubscribe@yahoogroups.com
----------------- cfbe@yahoogroups.com -----------------

.

__,_._,___
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Kumpulan Milis Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger