Home » » Bls: [cfbe] Sulit Membayangkan Kualitas Siswa Indonesia (Oleh: Tito Dirhantoro)

Bls: [cfbe] Sulit Membayangkan Kualitas Siswa Indonesia (Oleh: Tito Dirhantoro)

Written By Celoteh Remaja on Jumat, 04 November 2016 | 14.15

 

Kalau masalah pembiayaan waktu itu KOMPAS pernah ada opini, bahwa seperti subsidi BBM, terjadi ketidak adilan, karena banyak orang mampu menyekolahkan anaknya ke sekolah Negeri.
Mungkin baik juga, bahwa sekolah2 swasta yang memang masih sangat dibutuhkan dikhususkan bagi yang mampu bayar, sementara sekolah Negeri khusus bagi anak menengah ke bawah.


Salam


Pada Jumat, 4 November 2016 9:27, "Dhitta Puti Sarasvati dputi131@gmail.com [cfbe]" <cfbe@yahoogroups.com> menulis:


 
Sulit Membayangkan Kualitas Siswa Indonesia
Tito Dirhantoro
24 Oktober 2016

Di penghujung tahun 2014, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengajukan permohonan revisi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Permohonan itu menyasar program wajib belajar 9 tahun –program yang secara turun-temurun diwariskan oleh pemerintah sebelumnya. JPPI menilai program itu sudah tidak relevan. Aturan itu perlu diperbaharui dengan menambah masa wajib belajar menjadi 12 tahun.

Sayang, MK memutuskan menolak permohonan pengujian undang-undang tersebut. Alasannya, program pendidikan minimal yang harus diikuti warga negara Indonesia itu adalah kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). Artinya, selain pemerintah pusat, pemerintah daerah juga turut serta. Dengan demikian, tak ada keharusan bagi pemerintah pusat merealisasikan program tersebut.

Ihwal program wajib belajar merupakan salah satu persoalan yang dikemukakan oleh JPPI. Sebagai lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pendidikan, lembaga ini cukup aktif menyoroti permasalahan pendidikan di Indonesia. Beragam pendapat dan pemikiran seputar keberlangsungan pendidikan nasional kerap mereka utarakan. Dengan harapan, kajian dan masukan mereka bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengambil kebijakan terkait pendidikan.

Gramedia.com berkesempatan mewawancarai Abdul Waidl, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia pada Selasa, (27/9) sebagaimana secara lengkap tersaji di bawah ini .

Gramedia.com: Apa yang mendasari Anda dan kawan-kawan menggugat Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ke Mahkamah Konstitusi?

Abdul Waidl: Pada dasarnya kita ingin menguatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia. Memang, memperkuat kapasitas masyarakat caranya bisa bermacam-macam. Namun kami menggunakan pendidikan sebagai upaya untuk meningkatkan kapasitas atau kualitas tersebut.

Sektor pendidikan ini ada dua lingkup, formal dan informal. Salah satu langkah yang kami tempuh adalah pendidikan formal. Menurut kami, undang-undang yang mengatur kewajiban pendidikan formal hanya sampai 9 tahun atau SMP itu, jauh dari harapan untuk memperkuat kapasitas atau kompetensi SDM Indonesia. Wajib belajar sudah seharusnya sampai SMA, meski sebenarnya kami menginginkan lebih dari itu.

Mengapa demikian? Karena untuk seseorang bisa bekerja, butuh pendidikan formal minimal SMA. Jadi, kita mendorong pemerintah agar mendanai atau mengusahakan agar seluruh anak Indonesia mempunyai akses terhadap pendidikan formal minimal 12 tahun. Ini harus kita tekankan karena kuatnya kompetisi yang luar biasa, baik di tingkat regional apalagi internasional.

G: Gugatan Anda ke Mahkamah Konstitusi itu dua tahun lalu. Jika melihat saat ini, bagaimana kondisi SDM Indonesia ditinjau dari aspek pendidikan?

A: Belum ada perubahan signifikan. Melihat posisi pencapaian Indonesia dalam pendidikan formal kondisinya sangat jauh. Pemerintah sudah berulang kali mengumandangkan program wajib belajar 12 tahun. Tetapi, kenyataannya program ini sama sekali tidak sepenuhnya didukung, karena belum ada kebijakan satu sama lain yang sejalan untuk memperkuat program ini.

Saya kira ini harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah harus bisa menciptakan sistem agar semua anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan sebagai cita-cita mencerdaskan anak bangsa.

G: Kalau dibandingkan negara-negara ASEAN?

A: Dibandingkan negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina, ketertinggalan Indonesia cukup jauh. Dibandingkan dengan Thailand, misalnya. Untuk pendidikan 12 tahun,Thailand sudah menggratiskan biaya pendidikan setiap anak.

Pemerintah Thailand bahkan memberikan fasilitas sampai ke jenjang perkuliahan. Caranya, menalangi terlebih dahulu. Jadi misalnya, anda kuliah sampai selesai, nanti anda bayar ketika anda sudah bekerja dengan cara mengangsur.

Kebijakan pemerintah Thailand ini berlaku tak hanya S1, namun juga sampai S3. Jadi, dengan program itu semua orang bisa sekolah sampai ke jenjang lebih tinggi. Semuanya difasilitasi pemerintah atau negara.

Sementara dibandingkan dengan negara Malaysia, Filipina apalagi Singapura, Indonesia kalah jauh. Singapura saja sudah bisa setingkat dengan Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan. Indonesia hanya setingkat lebih tinggi dari Vietnam dan Kamboja. Tetapi dengan negara selain itu, kita tertinggal.

G: Apa penyebab rendahnya kualitas SDM Indonesia selain karena masih banyak anak di Indonesia yang belum mengenyam pendidikan?

A: Selain pendidikan yang saat ini belum bisa dijangkau oleh seluruh masyarakat, problem lainnya juga ada pada kompetensi guru. Pada 2015, uji kompetensi guru yang ditentukan Kementerian Pendidikan rata-rata masih di bawah 50 atau tepatnya hanya 47. Padahal, standar minimal kompetensi guru adalah 70. Jadi, kualitas guru di Indonesia baru sebatas itu.

Jika kondisinya demikian, agak berat membayangkan kualitas siswa-siswa Indonesia. Pemerintah juga tidak serius mengawal pendidikan akta IV bagi guru lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK). Lembaga-lembaga ini sungguh banyak, tetapi kualitasnya tidak dikontrol oleh pemerintah.

Kurikulumnya pun demikian. Akibatnya, dalam praktik mereka kerap semaunya. Jadi, kita memproduksi guru banyak sekali tiap tahun, tetapi tidak bisa menjaga kualitasnya. Seleksi menjadi guru di Indonesia juga begitu longgar. Bandingkan dengan Finlandia, seseorang yang ingin jadi guru prosesnya tak mudah. Seleksinya bahkan jauh lebih ketat daripada seorang dokter. Menjadi guru adalah harus orang-orang terbaik di sekolahnya.

Berbeda dengan di Indonesia, orang-orang terbaiknya cenderung masuk ke pendidikan kedokteran dan teknik. Padahal, kunci untuk mengembangkan kapasitas sumber daya manusia itu adalah guru.

G: Tapi, pemerintah bukan tidak berupaya meningkatkan kualitas guru. Saat ini, pemerintah merencanakan sertifikasi guru dengan menetapkan batas nilai ujian minimal 80?

A: Ya, boleh saja. Tetapi sertifikasi itu tidak terbukti mempunyai makna bagi kualitas. Sertifikasi itu selalu paralel. Tidak ada jaminan sama sekali. Sebab, pemerintah selalu berpikir, soal kualitas guru hanya dikaitkan dengan kesejahteraan guru. Artinya, ini menjadikan profesi guru tak ubahnya dengan pekerjaan profesi-profesi lainnya. Bukan bagian dari sebuah komitmen untuk penguatan kapasitas sumber daya manusia.

G: Terkait anggaran pendidikan, bagaimana Anda melihat penggunaannya selama ini?

A: Soal anggaran pendidikan ini memang perlu disorot. Selama ini alokasinya juga tidak jelas digunakan untuk apa saja. Kebanyakan kalau dipersentasekan ternyata juga untuk sertifikasi, gaji dan lain sebagainya, yang sifatnya hanya untuk memenuhi kesejahteraan atau kebutuhan hidup, bukan untuk memenuhi kebutuhan ihwal penguatan kapasitas guru.

Yang sering terlihat adalah pelatihan-pelatihan guru. Tapi sifatnya hanya seremonial saja, bahkan terkesan main-main. Misalnya, pelatihan guru yang seharusnya dilakukan empat hari dipangkas menjadi sehari. Ini sudah menjadi rahasia umum, dan fakta itu merupakan kesaksian dari banyak guru.

Dalam sehari pelatihan, mereka tidak benar-benar mengikuti kegiatannya. Mereka hanya bergonta-ganti baju, kemudian difoto untuk dokumentasi. Biar kesannya, pelatihan sudah berlangsung beberapa hari sesuai waktu yang ditetapkan. Padahal itu hanya sehari. Kalau yang dilakukan hanya seperti ini terus, sulit rasanya untuk meningkat kualitas pendidikan kita.

G: Jadi, anggaran pendidikan selama ini tidak tepat sasaran?

A: Ya, memang banyak yang tidak tepat sasaran. Dan selama ini kita senang sekali dengan apa yang namanya peningkatan pendapatan. Bukan peningkatan kualitas.

G: Menurut Anda butuh berapa lama agar bisa menyukseskan pendidikan wajib belajar 12 tahun?

Kalau pemerintah memang serius seharusnya lima tahun cukup. Banyak hal yang bisa dilakukan.

G Selama lima tahun itu, apa yang harus dilakukan pemerintah?

A: Pemerintah harus serius meningkatkan kualitas sekolah swasta dan non formal. Selama ini pemerintah melulu fokus pada sekolah formal, terutama negeri yang menjadi unggulan. Sekolah ini sudah banyak mendapat fasilitas dan guru-guru yang dibiayai pemerintah.

Rata-rata yang bersekolah di sekolah ini pun orang mampu. Tanpa difasilitasi sebenarnya sudah bisa jalan sendiri. Mereka bisa belajar di mana pun dan kapan pun dengan les macam-macam. Namun, inilah yang kemudian menjadi persoalan, ketika sekolah tersebut sudah dibiayai, ternyata masih banyak yang menariki uang kepada siswa-siswanya.

Sayang, tak ada tindakan tegas dari pemerintah. Karena itu, ke depan sekolah swasta dan non formal harus digandeng, tak bisa diabaikan. Sekarang ini pemerintah belum memperhatikan sekolah non formal, bahkan cenderung menganaktirikan. Tidak difasilitasi dan dibiarkan jalan sendiri.

Padahal, kecenderungan ke depan akan banyak lahir sekolah non formal. Pemerintah juga seharusnya berterimakasih kepada sekolah-sekolah ini. Sebab, sekolah swasta dan non formal menyumbang paling banyak tingkat kelulusan siswa secara nasional.

Bentuk terima kasih kepada sekolah-sekolah ini bisa diimplementasikan dengan memberikan anggaran, agar makin banyak anak yang bisa mengenyam pendidikan. Juga perlu diperhatikan, sekolah negeri yang ada patut dikontrol.

Fasilitas atau infrastruktur penunjang pendidikan tak bisa menjadi patokan. Seharusnya, yang difokuskan adalah kualitasnya. Selama ini, sekolah negeri yang dikatakan favorit kalau sebagian besar siswanya mendapatkan nilai UAN tinggi. Hanya itu tidak ada ukuran yang lain. Padahal pendidikan yang benar adalah kalau siswa mendapat input kurang bagus, bisa berubah menjadi bagus.

G: Jadi, menurut anda UAN tidak lagi relevan dijadikan tolok ukur bagi kelulusan siswa?

A: Ya, saya kira ujian nasional harus dihapus. Itu tidak relevan sama sekali. Pendidikan adalah sebuah proses, bukan sekadar hanya nilai tinggi. Artinya, pendidikan adalah proses siswa memahami realitas dan proses mencari jalan keluar terhadap realita. Memang, perlu ada ukuran-ukuran pasti. Tetapi, sifatnya bukan angka. Jadi yang kita sasar dari sebuah pendidikan itu ketika siswa punya semangat patriotisme, nasionalisme, keberagaman, bercita-cita memajukan bangsa dan bisa menumbuhkan karakter bagi dirinya. Komitmen-komitmen seperti ini tidak terjawab oleh UAN yang berpangkal pada angka-angka itu.

Terkait dengan kompetisi global pun demikian. Itu tidak bisa hanya dengan angka-angka. Kompetisi bisa dijawab dengan kreativitas dan inovasi. Harusnya pendidikan melatih seseorang untuk mempunyai dua hal tersebut. Ujian nasional tidak menjawab apapun kecuali kognitif sebagian dari pelajaran. Jadi, jangan sampai ujian nasional menjadi penentu segala-galanya. Itu sama sekali bukan jawaban dari tujuan pendidikan.

UAN juga menjadi tidak fair, karena menyamaratakan anak usia sekolah di Jakarta dan di Papua. Dengan fasilitas pendidikan yang sangat berbeda jauh, tidak adil mereka "bertanding" dengan soal ujian yang sama. Yang lebih celaka lagi, yang sangat memprihatinkan karena ujian nasional mendorong mobilisasi ketidakjujuran.


__._,_.___

Posted by: Fajar Budiarto <fajargs@yahoo.com>
Reply via web post Reply to sender Reply to group Start a New Topic Messages in this topic (2)

Have you tried the highest rated email app?
With 4.5 stars in iTunes, the Yahoo Mail app is the highest rated email app on the market. What are you waiting for? Now you can access all your inboxes (Gmail, Outlook, AOL and more) in one place. Never delete an email again with 1000GB of free cloud storage.

---------- http://groups.yahoo.com/group/cfbe ----------
Arsip Milis: http://groups.yahoo.com/group/cfbe/messages
Website: http://www.cbe.or.id

Hanya menerima daily digest: cfbe-digest@yahoogroups.com
Tidak menerima email: cfbe-nomail@yahoogroups.com
Kembali ke normal: cfbe-normal@yahoogroups.com
Berhenti berlangganan: cfbe-unsubscribe@yahoogroups.com
----------------- cfbe@yahoogroups.com -----------------

.

__,_._,___
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. Kumpulan Milis Indonesia - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger