Para Pencinta BukuOleh: A. S. Laksanahttp://as-laksana.blogspot.com/2015/01/para-pencinta-buku.html
Oleh: A.S. Laksana
![]() |
Buku-buku Karta Pustaka dijual obral. |
"Mari kita cari orang kaya yang mau mendanai perpustakaan untuk menyimpan buku-buku koleksi para tokoh negeri ini. Di sana nanti orang bisa menemukan buku-buku koleksi Pramudya Ananta Toer, Rendra, Usmar Ismail, Chairil Anwar, Mochtar Lubis, dan lain-lain."
Ia menyukai buku dan sering mempunyai gagasan menarik tentang buku karena ia sangat menyukainya. Saya menanggapi, "Ayo!" dan sampai sekarang masih berpikir apakah akan ada orang kaya yang mau membiayai perpustakaan semacam itu. Pada waktu ia menyampaikan gagasannya, saya segera teringat kabar yang beberapa waktu sebelumnya, sudah agak lama, saya terima dari kawan baik saya yang lain, seorang penjual buku loak di sekitar Lebak Bulus, bahwa sekian kontainer buku dari perpustakaan pribadi Adam Malik dijual kiloan. "Sudah tidak ada yang merawatnya lagi, Bang," katanya. "Saya ingin beli semuanya tapi tidak ada modal."
Saya agak melodramatik soal perpustakaan. Desember tahun lalu, ketika membaca berita bahwa Perpustakaan Karta Pustaka ditutup dengan alasan "visi-misinya menciptakan kerja sama di bidang pendidikan dan kebudayaan dengan Belanda telah tercapai", saya merasa sedih dan marah sekaligus dan ingin berteriak kuat-kuat: "Jangan tutup perpustakaan itu!". Jumlah perpustakaan umum kita sedikit sekali dan Karta Pustaka, yang didirikan tahun 1968, sekarang sudah tidak ada lagi. Kalaupun benar visi-misinya sudah tercapai, saya pikir ia tetap perlu ada, dengan "visi-misi" yang lain, misalnya menjadi tempat rekreasi bagi orang-orang yang senang berekreasi di antara buku-buku.
Kita sangat kekurangan perpustakaan sebagai tempat rekreasi. Sebagai orang yang seumur hidup tinggal di negeri ini, yang sejak lahir memang jarang bertemu dengan gedung perpustakaan, saya tentu saja telah beradaptasi sepanjang hidup dan berdamai dengan keadaan. Ada perpustakaan saya senang, tidak ada tidak apa-apa.
Namun tidak demikian dengan Yusuf Arifin. Kami dulu sekantor dan ia menyeberang ke Inggris setelah pembredelan 1994, bekerja sebagai wartawanBBC, dan tinggal di pinggiran London nyaris dua puluh tahun. Rumahnya dikepung perpustakaan. Di desanya ada gedung perpustakaan, di desa sebelah ada gedung perpustakaan, di dekat perempatan sana ada gedung perpustakaan, di belakang rumah temannya ada gedung perpustakaan. Ringkasnya, di balik gerumbul semak-semak atau di belakang lemari pakaian ia bisa menjumpai perpustakaan. Tahun lalu ia balik ke Jakarta dan menjadi pemimpin redaksi CNN Indonesia dan tak ada perpustakaan yang bisa ia kunjungi sewaktu-waktu. Di toko buku ia kesulitan menemukan buku-buku yang ia minati. Kepadanya saya bilang, "Selamat menikmati!"
Sekarang saya tidak perlu iri mendengar ceritanya tentang perpustakaan. Ia menikmati situasi yang sama dengan saya. Sudah bertahun-tahun saya tidak memasuki gedung perpustakaan dan tidak tahu di mana saja ada perpustakaan umum di Jakarta. Saya hanya tahu satu dua dan sudah tidak pernah lagi mengunjunginya sejak lama karena jalanan macet dan waktu yang terasa sempit.
Di samping itu, dengan jaringan internet yang sudah lebih baik dibandingkan sepuluh tahun lalu, saya merasa kebutuhan terhadap buku tercukupi. Selalu ada orang-orang yang memberontak terhadap tatanan. Mereka tidak memedulikan undang-undang hak cipta dan memanjakan kita dengan menyediakan ratusan ribu, bahkan jutaan, buku yang bisa kita dapatkan secara gratis—dalam format ebook. Kita bisa mengunduh buku semau kita di situs-situs web mereka.
Pada awal-awal mengenal situs tersebut, setiap malam hingga dinihari saya "berbelanja" ratusan judul buku dan dalam waktu beberapa minggu saja saya sudah mengoleksi ribuan buku. Sampai sekarang saya masih sering "berbelanja" di situs-situs itu, meskipun sudah ada lebih dari 9.000 judul buku di folder komputer saya, dan baru sedikit yang saya baca.
Saya pernah iseng-iseng menghitung berapa buku yang bisa saya baca sampai hidup saya berakhir nanti. Misalkan saya masih punya sisa umur 100 tahun lagi dan sebagai pemalas saya hanya bisa membaca satu judul sepekan, maka dalam seratus tahun itu, setelah dikurangi masa-masa tak berdaya karena flu berat atau tidak enak badan, saya hanya akan bisa menyelesaikan paling banter 5.000 judul buku. Itu pun kalau sisa umur saya 100 tahun dan saya membaca ajek. Padahal gairah membaca saya sama belaka kondisinya dengan iman seseorang—kadang naik kadang turun. Tidak apa-apa, yang penting mengunduh.
Dengan perpustakaan umum yang sedikit jumlahnya dan tak terlalu diperhatikan di negara ini, dengan akses terhadap buku yang semula sangat terbatas, dan dengan maaf sebesar-besarnya terhadap unsur pelanggaran di dalam kegiatan unduh-mengunduh itu, saya bersyukur bahwa internet telah memungkinkan saya mengoleksi karya para penulis yang saya sukai, nyaris lengkap, dan buku-buku dengan berbagai topik yang saya ingin baca.
Saya juga bersyukur internet memberi banyak teman, melalui media sosial. Dalam waktu cepat saya bisa mengumpulkan ribuan teman melalui Facebook. Itu hal yang tak mungkin saya lakukan dalam kenyataan sehari-hari. Sekarang saya mempunyai orang-orang yang berstatus "teman" di hampir semua provinsi negeri ini.
Beberapa orang mengeluhkan bahwa pergaulan di media sosial telah menginterupsi, dan juga menyabot, pergaulan sehari-hari dengan orang-orang terdekat, dengan teman-teman, dengan kerabat, juga dengan penumpang yang duduk di sebelah kita. Berada di mana pun dan kapan pun, orang sibuk dengan smartphone di tangannya. Dunia menjadi sunyi senyap, karena orang membeku di depan layar, tetapi sekaligus riuh. Anda tahu, pergaulan di media sosial sangat riuh. Setiap hari ada pembicaraan menarik. Setiap hari ada topik yang bisa digunjingkan. Setiap hari ada yang bisa dicaci maki.
Seorang suami menjadi jarang bicara dengan istrinya. Seorang ayah menjadi kekurangan waktu untuk anak-anaknya, dan sebaliknya, anak-anak kekurangan waktu untuk orang tua mereka karena sebab yang sama. Dan seorang penulis kekurangan waktu khusyuk untuk menulis karena dorongan untuk ubyang-ubyung di internet melalui media sosial begitu tinggi.
Dalam urusan itu, saya merasa baik-baik saja. Hanya ada satu hal yang sangat terasa bagi saya: internet telah menjauhkan saya dari seseorang yang sudah menjadi teman baik sejak 1998, yakni penjual buku loak yang saya sebut di awal tulisan ini, pemuda Batak yang ramah dan selalu menawari kopi setiap kali saya mampir ke kiosnya. Bertahun-tahun saya setia mengunjungi kios dan rumahnya dan ia selalu menyimpankan untuk saya buku-buku yang ia pikir pasti saya sukai—agar tidak dibeli orang lain.
Dari kiosnya saya pernah membawa pulang buku satu rak, masih bagus-bagus, dengan harga yang sangat murah. "Dapat dari pembantu di Pondok Indah, Bang," katanya. "Majikannya pulang ke negaranya, tidak balik lagi. Ia meninggalkan koleksi bukunya kepada si pembantu. Pembantu itu menjualnya ke saya."
Ia tahu bagaimana mencari buku untuk mengisi kiosnya dan ia sering pula mendapatkan buku-buku lelang dari Jakarta International School, jika sekolahan itu hendak memperbarui koleksi buku di perpustakaannya dan harus menyingkirkan buku-buku yang sudah lama. Beberapa buku di rak saya adalah lungsuran dari perpustakaan sekolah ini.
Saya masih lewat di depan kiosnya setiap hari, tetapi nyaris tidak pernah mampir lagi. Beberapa hari terakhir, saya lihat kiosnya selalu tutup. Menurut kabar, lahan tempat ia menyewa kios harus dikosongkan karena di sana hendak dibangun apartemen. Ia berpindah ke tempat lain, masih di daerah sekitar tempat tinggal saya, tetapi saya belum pernah ke tempat barunya.
Internet benar-benar telah mencukupi kebutuhan saya akan buku bacaan yang saya inginkan—yang semula hanya tersedia dalam harga murah di kios buku loak itu. Saya masih tetap ke toko buku secara berkala, untuk mendapatkan buku-buku yang hanya ada di toko buku dan sebagai tempat rekreasi bagi anak-anak.
Bagaimanapun, saya pikir anak-anak perlu menikmati pemandangan buku-buku terpajang di rak dan mereka bisa memilih buku yang mereka sukai. Dan jika ada perpustakaan di dekat rumah, atau perpustakaan tempat menyimpan koleksi buku-buku para tokoh negeri ini, sebagaimana yang diangankan oleh Rizadini, saya akan senang sekali mengajak anak-anak berekreasi ke sana. Sampai sekarang saya masih memikirkan siapa kira-kira orang kaya yang bersedia mewujudkan gagasan tersebut. [*]
*) Kolom Ruang Putih, Jawa Pos Minggu, 11 Januari 2015
__._,_.___
Posted by: Dhitta Puti Sarasvati <dputi131@gmail.com>
Reply via web post | • | Reply to sender | • | Reply to group | • | Start a New Topic | • | Messages in this topic (1) |
---------- http://groups.yahoo.com/group/cfbe ----------
Arsip Milis: http://groups.yahoo.com/group/cfbe/messages
Website: http://www.cbe.or.id
Hanya menerima daily digest: cfbe-digest@yahoogroups.com
Tidak menerima email: cfbe-nomail@yahoogroups.com
Kembali ke normal: cfbe-normal@yahoogroups.com
Berhenti berlangganan: cfbe-unsubscribe@yahoogroups.com
----------------- cfbe@yahoogroups.com -----------------
Arsip Milis: http://groups.yahoo.com/group/cfbe/messages
Website: http://www.cbe.or.id
Hanya menerima daily digest: cfbe-digest@yahoogroups.com
Tidak menerima email: cfbe-nomail@yahoogroups.com
Kembali ke normal: cfbe-normal@yahoogroups.com
Berhenti berlangganan: cfbe-unsubscribe@yahoogroups.com
----------------- cfbe@yahoogroups.com -----------------
.
__,_._,___
0 komentar:
Posting Komentar